Juli 8, 2025
SIDI

Dalam adat istiadat masyarakat Pariaman Gala Pusako dari Ayah berbeda dengan orang Minang yang berasal dari dataran tinggi (pedalaman) Gala merupakan pusako dari Mamak ke kemenakan (dari paman ke kemenakan). Sewaktu orang-orang dari dataran tinggi menjadikan daerah Pariaman sebagai daerah Rantau (jajahan), Gala Pusako dari ayah tidak bisa digantikan dengan sistem adat yang dibawa dari dataran tinggi tersebut.
Rombongan yang datang dan mendarat di Bandar tiku (berbatasan dengan Luhak Nantigo) serta mendirikan perkampungan dan menamakannya kampung Ghasan (untuk mengenang asal mereka Bani Ghasan). Sidi nan sabatang beserta keluarga dirajakan (dirajokan/dihormati layaknya raja) oleh Bani Ghasan.
Penduduk pribumi baik yang ada di Pariaman maupun yang datang dari dataran tinggi pada akhirnya juga merajakan mereka. Keturunan Sidi nan sabatang baik yang bergelar Sidi maupun Bagindo dipanggil dengan panggilan Ajo (Rajo). Sutan yang merupakan kaum pengusaha dan pedagang juga dirajokan atau dipanggil Ajo.
Panggilan Ajo merupakan panggilan dari seorang adik kepada abangnya, bisa juga panggilan untuk orang yang usianya lebih tua. Orang yang boleh dipanggil Ajo adalah seseorang yang bergelar Sidi, Bagindo dan Sutan. Panggilan Uda merupakan panggilan seorang adik kepada abangnya atau panggilan kepada seseorang yang usianya lebih tua.
Menurut adat di Pariaman seseorang yang bergelar Marah yang boleh dipanggil Uda. Kemudian Orang-orang yang datang dari dataran tinggi Minang juga dipanggil Uda oleh orang Pariaman karena mereka adalah penduduk asli Tanah Minang atau melayu Minangkabau atau kaum pribumi ranah Minang. Sama dengan penduduk yang lebih dulu ada di Pariaman ketika rombongan Sidi Nan Sabatang mendarat di Bandar Tiku juga dianggap sebagai bangsa pribumi.
Beginilah cara para Bani Hasyim yang sampai di Pariaman dalam menyikapi perbedaan antara Bani Hasyim dan penduduk asli melayu Minangkabau. Bangsa Melayu yang tinggal di dataran tinggi (pedalaman) bisa hidup secara damai dan harmonis walaupun berbeda dalam adat dan istiadat.
Orang-orang yang bergelar Sidi dan Bagindo di Pariaman lebih bersifat egaliter, Gelar tersebut tidak menjadikan mereka orang yang sombong dengan keturunannya. Mereka berbaur dengan masyarakat pribumi, juga terjadinya asimilasi melalui perkawinan, walaupun masih ada juga yang mempertahankan pernikahan sekufu (Siti untuk Sidi).
Datuk Parpatiah Nan Sabatang sebagai peletak dasar pemerintahan desentralisasi Bodi Chaniago dalam mamangan disebut “duduak sahamparan, tagak sapamatan.” Hal ini menyiratkan bahwa kedudukan raja dan rakyat adalah sama didalam hukum (Demokrasi).
Sistem ini memandang semua orang sama dan sederajat secara hukum, inilah yang menjadikan masyarakat Pariaman menjadi egaliter. Sangat berbeda dengan sistem sentralistik pemerintahan Koto Piliang yang dibangun oleh Datuk Katumangguangan, yang didalam mamangan disebutkan “Rajo ditantang, mato buto.” Hal ini bermakna bahwa raja punya kekuasaan yang Absolut, sehingga rakyat harus menjalankan apapun titah raja (Feodal).
Pada perkembangannya terjadi perpaduan kedua sistem tersebut yang didalam mamangan disebut “Rajo alim rajo disambah, rajo zalim rajo dibantah”.
Sampai saat ini sistem inilah yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau, yang bermakna ketika seorang penguasa memimpin dengan adil maka rakyat akan menghormati, ketika seorang penguasa berlaku zalim terhadap rakyat maka penguasa tersebut wajib untuk tidak didukung bahkan digulingkan dari kekuasaannya.
SEBAB MUSABAB HILANGNYA GELAR SIDI
Ada perbedaan yang fundamental antara zuryat Rasulullah di Pariaman dan dan zuryat Rasulullah didaerah lain di Nusantara dalam hal menjaga gelar keturunan. Gelar Sidi dalam adat yang berlaku di Pariaman bisa saja hilang diakibatkan beberapa hal, diantaranya adalah gelar Sidi disandang dan dilekatkan ketika seorang dari turunan Sidi sudah menikah, maka keluarga pihak perempuan memanggil menantunya, atau iparnya tersebut dengan gelar yang disandangnya. Bila dia tidak menikah sampai akhir hanyat maka dia tidak pernah dipanggil dengan gelar yang disandangnya.
Sebab lain adalah ketika keturunan Sidi menikah dengan orang yang tidak sebangsa (Pariaman), misalnya menikah dengan perempuan Jawa atau perempuan dari suku lain yang ada di Nusantara. Maka tentu saja pihak keluarga perempuan, apakah itu ipar atau mertua tidak ada yang memanggil Sidi.
Menikah dengan penduduk asli Minang yang berasal dari Luhak Nan Tigo (Agam, Tanah datar, Limo Puluh Koto), oleh mereka siapapun menantu mereka, apapun bangsa menantu mereka, apakah bergelar Sidi, Bagindo, Sutan atau Marah, apakah berasal dari Pariaman atau daerah lain tetap saja dipanggil Sutan.
Adapun sebab lain adalah malu menyandang gelar Sidi, seorang yang bergelar Sidi biasanya malu dipanggil Sidi bila sikap dan moralnya tidak baik. Hal yang sangat mendasar menjadi penyebab hilangnya gelar Sidi tersebut adalah gelar tersebut tidak disandangkan kepada nama anak keturunan sejak lahir.
Sangat berbeda dengan turunan Alawy yang datang pada awal abad VIII sampai dipenghujung abad XVI, mereka menyandangkan gelar tersebut didepan nama anaknya sejak mereka lahir.
Tulisan ini bukan untuk membanggakan keturunan tertentu atau merendahkan keturunan yang lain, hal ini semata-mata untuk mengingatkan penulis sendiri. Ketika kita menghadap Allah yang ditanyakan adalah amal dan ibadah yang kita lakukan semasa hidup bukan dari keturunan siapa kita berasal.